SELAMAT DATANG DI BUTTA PANRITA LOPI, KABUPATEN BULUKUMBA, SULAWESI SELATAN

Kamis, 08 September 2005

MASYARAKAT ADAT KAJANG AMMATOA BULUKUMBA SUL-SEL

Wisata Bulukumba. Suku Kajang Ammatoa Sulawesi Selatan Berpakaian serba hitam dan tidak memakai alas kaki menjadi identitas masayarakat Ammatoa Kajang. Sebuah komunitas masyarakat di Kabupaten Bulukumba yang memiliki budaya unik dan cenderung terbelakang. Berkunjung ke Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba,
belum lengkap tanpa memasuki kawasan adat Ammatoa, mempelajari kearifan lokal masyarakat dalam melestarikan budaya dan adat istiadatnya yang telah bertahan ratusan bahkan ribuan tahun. Kawasan adat masyarakat Kajang berada dalam wilayah administrasi desa Tana Toa, berjarak 56 km dari kota Bulukumba.

Karena letaknya yang berada di desa Tana Toa, maka kawasan adat ini juga dikenal sebagai kawasan adat Tana Toa. Di antara suku yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Bulukumba, Kecamatan Kajang, suku Ammatoa Kajang merupakan salah satu kelompok masyarakat yang kokoh memegang tradisinya. Mereka mempertahankan pola yang dilahirkan oleh sistem nilai budaya warisan nenek moyangnya, dan cenderung kurang menerima, bahkan sebagian menolak sama sekali hal-hal baru (modernisasi). Masyarakat adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km.
Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya, yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang mereka yakini. Komunitas Ammatoa mudah dikenal karena menampakkan ciri-ciri yang membedakannya dari kelompok sosial lainnya.
Spesifikasinya terdapat pada atribut yang dikenakan, seperti baju celana yang hampir menyentuh lutut, sarung, daster, ikat kepala yang dikenakan bagi kaum lelaki, yang semuanya berwarna hitam. Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan. Bila kita memasuki kawasan ammatoa, pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi masyarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama.
Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannya sebagai sumber kehidupan. Budaya Kamase-masea Masyarakat adat Ammatoa Kajang merupakan komunitas masyarakat yang diikat oleh sistem nilai pasang (pesan, petuah). Sistem nilai tersebut merupakan kesatuan integral dari pemahaman kosmologi terhadap Tu’re’a’ra’na (Tuhan) yang mencakup dua matra utama, yakni patuntung (keagamaan) dan pola hidup kamase-masea artinya miskin atau seadanya.

Dari kepercayaan kamase-masea, masyarakat adat ammatoa Kajang mengisolasi diri dari segala bentuk modernitas, cenderung menolak perubahan dan taat pada aturan pasang. Prinsip kamase-masea diyakini sebagai jalan menuju hidup hakiki, sebagaimana disebutkan pasang Ammatoa bahwa dengan hidup “miskin” di dunia akan mendapatkan ganjaran kekayaan di akhirat.

Masyarakat adat ammatoa Kajang berpegang teguh pada prinsip kamase-masea dengan sistem nilai lambusu’ artinya jujur, gattang atau tegas, sabbara artinya sabar, dan appisona (pasrah) di dalamnya. Nilai yang terkandung dalam prinsip kamase-masea menjadi pegangan hidup masyarakat adat ammatoa Kajang. Mereka dengan patuh melaksanakan semua aturan-aturan berupa pasang yang mengandung nilai-nilai luhur. Hal ini mengakibatkan mereka mendapat citra “keterbelakangan dan kolot”.

Tidak ada komentar:

SAMPAI JUMPA DI BUTTA PANRITA LOPI, KABUPATEN BULUKUMBA