Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka.
Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur penting yang ada dalam
partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir
menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan
kebijaksanaan yang sama.
Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:
Dalam praktek kekinian, setidaknya ada empat fungsi partai politik, yaitu:
Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai
menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan
penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan
kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation). Rumusan
ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan
yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan kebijakan umum yang diterapkan
pada masyarakat.
Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai
memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena
(kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.
Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha
menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.
Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik.
Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam
kegiatan politik sebagai anggota partai.
Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur
konflik. Di tengah masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai
politik berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan
untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan
umum.
Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Tapi,
sungguh ironis, Islam malah dipinggirkan. Mengapa?
Pertama, partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular
dan kebangsaan. Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah
aturan-aturan sisa peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang
dipraktekkan pun ekonomi Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan
kesenjangan yang hebat antara kaya dengan miskin. Kekayaan alam milik rakyat
pun dibiarkan dikuasai asing dan para saudagar dalam negeri. Semuanya legal
karena ditopang oleh perundang-undangan yang dibuat oleh wakil-wakil
partai-partai tersebut yang duduk di parlemen.
Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi
(fikrah) yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala
negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah
rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam,
menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan
kesetaraan.” Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya.
Ketika ramai membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian
menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”,“Kembali kepada
Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia ini plural
harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum
masing-masing’. Sikap demikian membuat umat menyimpulkan tidak ada bedanya
antara partai yang menamakan partai Islam dengan partai lainnya.
Ketiga, partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi
pemenangan Pemilu. Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan
menjelang Pemilu. Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang
aktif. Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk
menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada penyelesaian.
Keempat, tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan
perubahan di tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun,
jalannya dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara partai
Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai kristen yang
jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang syariah’. Kalaupun
menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas apa maksudnya. Dengan
perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya antara partai Islam dengan
partai nasionalis, misalnya.
Kelima, tidak adanya ikatan yang kuat di antara para
anggotanya. Ikatan yang ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di
dalam tubuh partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.
Keenam, perilaku sebagian anggota/pengurus tidak
mencerminkan partai Islam sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang
‘tidak jelas asalnya’, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya,
nanti akan dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini
menambah pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai Islam
dengan partai bukan Islam.
Inilah beberapa penyebab kegagalan partai, khususnya partai
Islam. Karenanya, siapapun harus belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar